Oleh: khalik0589 | Maret 15, 2010

‘ARIYAH ( PINJAM MEMINJAM )

Ariyah menurut bahasa berarti datang dan pergi, namun ada juga yang artinya saling menukar dan mengganti. Sedangkan menurut istilah, ulama fikih berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, yaitu :

Menurut Syarkasyi dan ulama Malikiyah :

Pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa ganti

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah :

Pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa ganti[1]

Jadi dapat disimpulkan bahwa ‘Ariyah adalah perbuatan pembolehan memanfaatkan barang milik oleh seseorang kepada orang lain pada waktu tertentu tanpa ada imbalan.

Ulama sepakat ‘ariyah boleh dilakukan terhadap barang yang bermanfaat seperti rumah, hewan, dan seluruh barang yang diperbolehkan agama untuk memanfaatkannya.

Berikut ini adalah beberapa ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan ‘ariyah.

  1. A. Surat Al Maidah : 2

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا ءَامِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Arti : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya

Menurut keterangan yang terdapat dalam tafsir Al Misbah karangan M. Quraish Shihab menyatakan bahwa di dalam ayat ini Allah menyeru orang-orang beriman : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syari’at-syari’at Allah dalam ibadah haji dan umrah bahkan semua ajaran agama, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’idah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab, jangan menganggu binatang Al Hadya, yaitu binatang yang akan disembelih di Mekah dan sekitarnya. Demikian juga jangan menganggu Al Qala’id, yaitu binatang-binatang yang dikalungi lehernya sebagai tanda bahwa ia adalah binatang persembahan yang sangat istimewa dan juga jangan menganggu pengunjung Baitullah, yakni siapa yang ingin melaksanakan ibadah haji atau umrah sedang mereka melakukan hal tersebut dalam hal mencari dengan sungguh-sungguh karunia keuntunga duniawai dan keridhaan ganjaran yang Ukhrawi dari Tuhan mereka.

Apabila kamu telah bertahallul menyelesaikan ritual ibadah haji atau umrah atau karena satu dan lai sebab sehingga kamu tidak menyelesaikan ibadah kamu, misalnya karena sakit atau terkepung musuh, maka berburulah jika kamu mau.

Dan janganlah sekali-kali kebencian yang telah mencapai puncaknya sekalipun kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Mesjid Haram, mendorong kamu berbuat aniaya kepada mereka atau selain mereka. Dan toleong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan, yakni segala macam bentuk dan macam hal yang membawa kepada kemaslahatan duniawi atau ukhrawi dan demikian juga tolong menolonglah dalam ketakwaan, yakni segala upaya yang dapat menghindarkan bencana duniawi dan ukhrawi, walaupun dengan orang yang yang tidak seiman dengan kamu, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah maha berat siksa-Nya.[2]

Dalam ayat ini, terdapat firman-Nya yang berarti “ Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran”. Ini adalah merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun, selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan.

Firman Allah ini merupakan dasar hukum ‘Ariyah (pinjam meminjam) karena dapat saling tolong menolong sesama manusia selama berada dalam kebajikan. Bila diperhatikan ayat kedua surat Al Maidah ini, secara nyata disana disebutkan bahwa perbuatan tolong menolong tidak mutlak berlaku atas semua perbuatan. Secara jelas ayat tersebut mengungkapkan bahwa dalam lapangan perbuatan yang bersifat tercela, tolong menolong itu malah dilarang. Dalam soal hukum sesuatu persoalan, para ulama pun selalu menekankan bahwa ketentuan-ketentuan hukum tentang suatu masalah amat berkaitan erat dengan illat hukum, sehingga dikatakan bahwa adanya hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak adanya illat. Dalam kerangka ini pun, ‘ariyah tidak pula terlepas dari illat hukum.

Sehubungan dengan itu, ‘ariyah bias menjadi wajib atas seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk meminjamkannya kepada seseorang yang sangat membutuhkan, yang mana jika orang itu tidak diberi pinjaman akan menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama, seperti ia kan mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi bila seseorang memberikan pinjaman yang mana dengan meminjamkan hartanya itu ia bermaksud menganiaya peminjam itu untuk berbuat maksiat, maka hukum ‘ariyah menjadi haram. Dengan demikian, didasarkan paa kondisi-kondisi yang amat bervariasi, hukum pinjam meminjam pun bisa sangat bervariasi pula, seperti wajib, haram, makruh, ataupun mubah. [3]

Asbabun Nuzul ayat :

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Al Hathm bin Hind Al Bakri dating ke madinah membawa kafilah yang penuh dengan makanan, dan memperdagangkannya. Kemudian ia menghadap Rasulullah SAW untuk masuk Islam dan berbai’at (sumpauh setia). Setelah ia pulang, Rasulullah SAW bersabda kepada orang-orang yang ada pada waktu itu bahwa ia masuk ke sini dengan muka seorang penjahat dan pulang dengan punggung pengkhianat. Dan sesudah ia sampai ke Yamamah, ia pun murtad dari Islam.

Pada suatu waktu di bulan Dzul Qaidah, ia (Al Hathm) berangkat membawa kafilah yang penuh dengan makanan ke menuju Mekah. Ketika para sahabat Rasul mendengar berita kepergiannya ke Mekah, bersiaplah segolongan kaum muhajirin dan anshar untuk mencegat mereka. Akan tetapi turunlah ayat ini ( Al Maidah : 2 ) yang melarang perang pada bulan haram. Pasukan itupun tidak jadi mencegatnya.[4]

  1. B. Surat An Nisa’ : 58

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Arti : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Di dalam Al Maraghi dijelaskan tentang ayat ini, bahwa :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya

Ada macam-macam amanat yang terkandung dari ayat ini, yaitu :

Pertama : Amanat hamba dengan Tuhannya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya untuk dipelihara, berupa melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya dan mendekatkannya kepada Tuhan.

Kedua : Amanat hamba dengan sesama manusia, diantaranya adalah mengembalikan titipan kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia dan lain sebagainya yang wajib dilakukan terhadap keluarga, manusia pada umumnya dan pemerintah. Termasuk di dalamnya keadilan umara terhadap rakyatnya, dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam dengan membimbing mereka kepada keyakinan dan pekerjaan yang berguna bagi meeka di dunia dan di akhirat seperti pendidikan yang baik, mencari rizki yang halal, memberikan nasehat dan hukum-hukum yang menguatkan keimanan, menyelamatkan mereka dari berbagai kejahatan dan dosa serta mendorong mereka untuk berbuat kebajikan.

Ketiga : Amanat manusia terhadap dirinya sendiri, seperti hanya memili yang paling pantas dan bermanfaat bagi dirinya dalam masalah agama dan dunianya, tidak langsung mengerjakan hal yang berbahaya baginya di dunia dan akhirat, serta menghindarkan berbagai penyakit sesuai dengan pengetahuan dan petunjuk dokter,

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْل

dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil

Di dalam banyak ayat, Allah memerintahkan untuk berbuat adil. Diantaranya seperti dalam ayat :

اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” ( Al Maidah : 8 )

كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ

“Jadilah kalian orang yang benar-benar menegakkan keadilan” ( An Nisa’ : 135 )

Pemutusan perkara diantara manusia mempunyai banyak jalan, diantaranya ialah : pemerintahan secara umum, pengadilan, dan bertahkim kepada seseorang untuk memutuskan perkara antara dua orang yang bersengketa dalam perkara tertentu.

Kemudian Allah menerangkan keadilan dan penyampaian amanat. Dia berfirman :

إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu

Sebaik-baik sesuatu yang dinasihatkan kepada kalian adalah menyampaikan amanat dan memutuskan perkara dengan adil diantara manusia. Sebab Dia tidak menasihatkan kecuali yang mengandung kebaikan, keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Kalian wajib menjalankan segala apa yang diperintahkan dan dinasihatkan Allah, karena Dia lebih mengetahui daripada kalian tentang segala apa yang terdengar dan terlihat.[5]

Pada ayat ini yang berhubungan dengan ‘ariyah adalah “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. Yang mana dijelaskan bahwa ‘ariyah berpegang pada prinsip saling menguntungkan antara orang yang berakad maka dalam suatu transaksi tidak boleh ada yang dirugikan. Dengan demikian pihak yang meminjam berkewajiban mengganti barang pinjaman yang rusak selama barang tersebut masih ada dalam kekuasaannya. Karena peminjam telah memperoleh manfaat dari barang yang dipinjamnya. ‘Ariyah atau pinjam meminjam merupakan keizinan pemanfaatn barang untuk sementara waktu bukan pemindahan milik. Apabila telah habis waktu yang ditentukan, maka peminjam wajib mengembalikan barang pinjamannya kepada pemilik barang. Karena pada hakikatnya barang pinjaman merupakan amanat yang wajib dikembalikan, sesuai dengan surat An Nisa’ ayat 58.[6]

Asbabun Nuzul ayat :

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa setelah fathul makkah, Rasulullah SAW memanggil Utsman bin Talhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Rasul untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Al Abbas seraya berkata : “Ya Rasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan merangkap jabatan itu dengan jabatan urusan pengairan”.Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah :”Berikanlah kunci itu kepadaku, wahai Utsman !” Utsman berkata : “Inilah dia amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan kemudian keluar untuk thawaf di baitullah. Lalu turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kepad Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca surat An Nisa’ ayat 58.[7]

  1. C. Surat Al Baqarah : 282

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًافَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُواوَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Arti : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dalam tafsir Al Misbah disebutkan bahwa surat Al Baqarah ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah SWT kepada kaum yang menyatakan beriaman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisanya.

Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan bagi orang yang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang piutang, bahkan secara lebih khusus adalah berhutang. Ini agar yang member piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu.

Kata tadayantum yang ada pada ayat diterjemahkan dengan bermuamalah. Kata ini memiliki banyak arti tetapi makna yang terkandung di dalamnya selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dan satunya berkedudukan lebih rendah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara langsung, yakni hutang piutang.

Selanjutnya Allah menegaskan : Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku di masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah. Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah mengajarkannya hendaklah ia menulis.

Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian, baik dalam menulis maupun selainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi.

Pada kelanjutan ayat disebutkan : Dan janganlah saksi-saksi itu enggan apabila dipanggil, karena kengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Kata kalimat berikutnya : Janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis, karena dengan hal tersebut membuat para saksi dan penulis kehilangan pekerjaannya, oleh itu tidak ada salahnya memberikan mereka biaya transportasi atau semacamnya. Lalu di lanjutkan dengan kata-kata : Jika kamu melakukan yang demikian maka sesungguhnya itu adalah kefasikan pada dirimu.[8]

Dalam ayat ini, jelas tergambar bahwa segala transaksi yang terjadi di upayakan untuk mengadakan pencatatannya. Seperti dalam “ariyah diharapkan segala hal yang terjadi di catat dengan mendatangkan saksi sehingga tidak terjadi kesalahan di kemudian hari dengan adanya pencatatan tersebut. Karena jika suatu hari peminjam berkilah bahwa ia tidak pernah meminjam dapat dibuktikan dengan adanya catatan tersebut serta dengan adanya saksi.


[1] Rahmat Syafe’I, Fikih Muamalat,( Bandung : CV Pustaka Setia, 2001 ), h. 139-140

[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah 3, (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 9-10

[3] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 38-39

[4] Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung : CV Diponegoro, 2007), h. 181-182

[5] Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, ( Semarang : Toha Putra, 1986 ), h. 116-118

[6] Rozalinda, Fikih Muamalah dan Aplikasinya, (Padang : Hayfa Press, 2005), h. 120

[7] Shaleh dkk, Op. Cit, h. 145

[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah 1, (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 602-608


Tinggalkan komentar

Kategori